Minggu, 29 November 2009

Penerapan IQ, EQ, dan SQ dalam Kehidupan

Sekarang ini kebanyakan manusia menganggurkan kecerdasan yang mereka miliki. Punya mata hanya untuk melihat tetapi tidak untuk memperhatikan, punya perasaan hanya untuk merasakan tetapi tidak untuk menyadari, punya telinga hanya untuk mendengar tetapi tidak untuk mendengarkan dan seterusnya. Oleh sebab itu, berbagai kecerdasan yang dimiliki haruslah dipergunakan dengan sebaik-baiknya dan jangan sampai disia-siakan.
IQ, EQ, dan SQ bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang hidup kita. Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita buat berasal dari berbagai proses, diantaranya:
a. Merumuskan keputusan.
b. Menjalankan keputusan tersebut.
c. Menyikapi hasil pelaksanaan keputusan itu.
Rumusan keputusan itu seyogyanya didasarkan pada fakta yang kita temukan di lapangan realita (apa yang terjadi), bukan berdasarkan pada kebiasaan atau preferensi pribadi suka atau tidak suka.
Kita bisa menggunakan IQ yang menonjolkan kemampuan logika berpikir untuk menemukan fakta obyektif, akurat, dan untuk memprediksi resiko, melihat konsekuensi dari setiap pilihan keputusan yang ada. Rencana keputusan yang hendak kita ambil merupakan hasil dari penyaringan logika, juga tidak bisa begitu saja diterapkan, semata-mata demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimana pun, kita hidup bersama dan dalam proses interaksi yang konstan dengan orang lain. Oleh sebab itu, salah satu kemampuan EQ, yaitu kemampuan memahami (empati) kebutuhan dan perasaan orang lain menjadi faktor penting dalam menimbang dan memutuskan. Kemudian dengan SQ kita dapat menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup apa yang lebih bermakna supaya tidak sia-sia.
Banyak fakta dan dinamika dalam hidup ini yang harus dipertimbangkan. Kita pun sering menjumpai kenyataan, bahwa faktor human touch, turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap kita (perlakuan kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita tawarkan pada mereka). Salah satu contoh kongkrit, di Indonesia, budaya “kekeluargaan” sangat kental mendominasi dan mempengaruhi perjanjian bisnis, atau bahkan penyelesaian konflik. Ini merupakan salah satu pengaplikasian orang yang menggunakan IQ, EQ dan SQ dalam mengambil keputusan.
Perlu diakui bahwa IQ, EQ dan SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan perasaan. Meskipun keputusan yang dibuat harus berdasarkan pengetahuan dan keyakinan sekuat batu karang, tetapi dalam pelaksanaannya, perlu dijalankan se-fleksibel orang berenang.
Aplikasi keputusan dengan IQ, EQ, dan SQ ini hanyalah satu dari sekian tak terhitung cara hidup, dan seperti kata Bruce Lee, strategi yang paling baik adalah strategi yang kita temukan sendiri di dalam diri kita. “Kalau kamu berkelahi hanya berpaku pada penggunaan strategi yang diajarkan buku di kelas, namanya bukan berkelahi (tetapi belajar berkelahi)”.
Kecerdasaan Intelektual ( IQ ) anak telah ditumbuh kembangkan di sekolah, misalnya melatih keterampilan teknis dan pengetahuan ilmiah anak. Lalu, bagaimana dengan EQ dan SQ ?
 Melatih Kecerdasan Emosi Anak
Kini orang tua semakin peduli dengan karakter anak. Para orang tua semakin sadar dan yakin bahwa keberhasilan anak tidak lagi cukup dengan ketrampilan teknis dan pengetahuan ilmiah, namun juga dengan kemampuan pengendalian diri dan hidup bermasyarakat.
Secara garis besar ada dua hal utama dalam kecerdasan emosi, yaitu :
1. Mengenalkan dan mengajarkan berbagi jenis emosi kepada anak
Tips sederhana dalam mengajarkan kecerdasan emosi adalah dengan sering menyebutkan berbagai jenis emosi kepada anak. Misalnya anak sedang cemberut, maka sebagai orang tua kita dapat menegaskan situasi emosi tersebut kepada anak, misalnya dengan menanyakan, “Adik cemberut, apa sedang kesal? Adik kesal apa karena Ibu melarang nonton TV?” Dengan demikian anak dipandu untuk terbiasa mengenali kondisi emosi dirinya dan penyebab munculnya emosi itu.
2. Mengelola emosi
Setelah anak tersebut tahu berbagai macam emosi yang ada pada diri seseorang, langkah selanjutnya adalah mengajarkan kepada anak bagaimana mengelola emosi tersebut.
Tips sederhana untuk mengelola emosi adalah Ketika orang tua marah, sedih, bingung, kesal, gembira, dan situasi emosi lainnya, orang tua juga perlu menyampaikan alasannya. Misalnya, seorang anak bermain dan tidak membereskan mainannya setelah selesai, sang Ibu bisa berkata, “Adik, Ibu sangat kesal melihat mainan yang berantakan, karena Ibu menjadi repot membereskannya. Ibu akan senang kalau Adik membantu Ibu membereskan mainan sendiri.” Dengan pernyataan itu sang anak akan belajar mengenali situasi emosi ibunya (kesal), sebab munculnya (mainan berantakan), dan mengapa sebab tersebut menyebabkan munculnya emosi tertentu (kesal karena repot membereskannya). Perlu ditunjukkan ekspresi yang sesuai dengan emosi saat melatih anak kecil (kalau kesal ya jangan tersenyum, namun tunjukkan wajah serius dan cemberut). Semakin dewasa nanti semakin mungkin menyampaikan emosi dengan ekspresi yang berlawanan misalnya dalam bentuk sindiran (kesal, namun tersenyum).
Apabila anak sedari dini usia telah sering dilatih untuk peka dalam mengenali emosi, maka semakin dewasa akan semakin mudah mengenali emosi, dan akhirnya dapat menyesuaikan sikapnya dengan situasi emosi yang ada.
 Melatih Kecerdasan Spiritual Anak
Jika anak balita memiliki SQ paling tinggi, dia jujur mengungkapkan sesuatu beradsarkan apa yang ada di lubuk hatinya. Bila tak suka, anak balita akan bilang tak suka, tak memanipulasi jawabannya. Sejalan bertambahnya usia, SQ akan menurun, karenanya orangtua harus terus mengajarkan anak untuk mengembangkan SQ-nya, misal mengajarkan anak bahwa kakak menolong adik bukan karena dilandasi kewajibannya sebagai kakak semata, namun dilandasi nilai kasih sayang pada adik.
Kemampuan IQ tinggi dengan dibarengi EQ belum cukup jika tidak dibarengi oleh SQ. Misalnya pada kasus mengejar uang dan jabatan dengan cara mengabaikan apakah intelektual dan emosi yang digunakan telah menyingggung atau merugikan orang lain.
Pakar Sosilog anak DR Howard Gardner dalam riset yang dilakukannya mendapati adanya kecerdasan anak yang majemuk. Dalam kesimpulannya, tidak ada anak bodoh dan pintar. "Yang ada anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan" ujarnya.Sikap dan pengetahuan orangtuanyalah yang menentukan apakah potensi kecerdasan anak akan berkembang atau justru padam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kula aturi absen rumiyin...