Rabu, 06 Oktober 2010

syawalayan dedingin

[05 Oktober 2010]

Pojokan cine club memang terasa dingin oleh syarafku, entah syaraf hati maupun syaraf ragaku. Yang kemudian menjadikan aku menyeruakan kata-kata yang mungkin tak semestinya aku katakan, walau hanya dalam hati. Hening. Batinku saja. Aku tak lagi mendengar alunan lagu yang mendayu-ndayu dari meja si mamacaca, karena rasanya aku ingin sekali marah pada telingaku. Aku tak lagi mendengarkan cengkramaan yang ngalor ngidul ngetan ngulon di belakangku. Aku tak lagi memikirkan baju apa yang aku kenakan. Batik entah model apa, yang jelas banyak yang menyamainya.

Sekarang?

Si mamacaca sedang berdoremi ria di depan sana, entah tempat apa itu, aku tidak jelas sangat akan hal itu. Dulu pernah aku berkenalan, namun sekarang seakan melupakan teman barunya ini. Teman baru yang terlupakan, sayang sekali, ada ada saja predikat untuk seorang teman baru yang terlupakan ini. Aku? Mungkin, lantas sipa lagi. Sekarang apa lagi? Pembahasan tentang : “...kula dalah panjengan sedaya minangkan titah sawantah ingkang pinurba kawasesa dening Allah Subhanahuwata’ala ingkang murbeng dumadi bla bla bla...., mungkin tak seluruhnya kupahami arti per kata-nya. Aku mendapati rentetan huruf itu dari kang guru –harusnya kutulis : kangguru—. Fyuh...entah.

Tadi sudah dipergemakan oleh seorang ukhti. Hebat sekali ukhti itu, aku ingin berguru kepadanya, mengajariku berdendang nyaring macam itu. Itu tadi, tadi juga sudah ada sekelumit sambutan dari para tetua, intinya sama saja, ya itu itu saja, tak ada jimpitan perkataan yang nggreget.

Aku sendiri termangu dalam kesibukan memainkan pola pikir orang waras yang sedang menggila –sebut : pola pikir kesemrawutan, memberi mandat kepada kelima prajuritku untuk melompat-lompat sesuai pola pikir kesemrawutan tadi. Lamalama menjadi lama, lamalama aku memutuskan suatu hal –yang sebenarnya belum pernah jadian—, aku menidurkan si LC, lantas aku membersamai kakakatin yang sedang menimba ilmu di depan sana. Ya, aku akan menimba ilmu, dari sang inspirator.

Selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya... Pembicara yang yah... bisa dikatakan dahsyat hiya, hebat hiya, keren hiya, kalem hiya, pendiam hiya, fyuhh...susah untuk digambarkan dengan kata kata. Intinya??? Maaf, tak ada istilah inti disini, ini bukan sel yang memiliki nukleous, hanya ada organela organela yang sama sekali tak jelas dimataku –walaupun sudah memakai kacamata— Tentang salamsalaman, tentang ramadhan yang menyandang gelar bulan pengupgrade iman, tentang segala sedekah – memaafkan, entah darimana beliau menghubungkan antara sedekah dengan memaafkan dan juga hubungannya dengan tema salamsalaman. Hebat sekali beliau ini. Beliau yang disebut oleh si mamacaca sebagai “raka mas”.

Setelah segala ilmu masuk dalam bebenakku, dan kemudian keluar lagi tanpa permisi, hanya meninggalkan sidik jari dan tapak kaki dalam buku catatan kecilku. Tanpa salam juga dia ngeluyur entah kemana, dan tak mau mengangkat telponku. Awalnya aku ingin mengajaknya untuk memainkan micropon, berlagak seperti sang pembicara tadi, dan menyampaikan sepenggal kata tanya yang mungkin akan menyerang balik pada diriku sendiri di depan teman-teman dan para dosen. Namun itu hanya bayanganku saja. Nyatanya tidak ada ruang untuk kami melancarkan bumerang itu. Jadi, tidak perlu untuk aku pikirkan lagi tentang hal itu, buang saja bumerang itu. Tidak akan melancarkan protes kepada si mamacaca yang tidak menggubris smsku yang menggelitik tentang pesanan ruang.

Tidak seperti dugaan awalku, adanya sepotong hiburan yang setidaknya berusaha menhibur diriku yang tak menentu suhunya ini, menghindari terjadinya pelapukan. Seperti bebatuan yang melapuk ketika perubahan suhu terlalu kontras, atau seperti gelas dingin yang disirami air mendidih dan kemudian meretakan diri. Ternyata ini adalah acara puncak dan kemudian akan disusul oleh acara topi, maksudku acara penutup. Ooohh...biasanya aku akan nyaman sekali berlama-lama disini, walau kondisinya tak sama seperti biasanya, walau memang sedang bersuhu tak menent, walau walau walau dan walau yang lain lain. Dan biasanya aku enggan sekali memakai topi, maksudku acara penutup. Tapi kali ini luar biasa.

“Aku ingin mencintaiMu, setelusnya sebenar benar aku cinta, dalam doa dalam ucapan dalam setiap langkahku. Aku ingin mendekatiMu selamanya, sehina apa pun diriku ......”. Maaf, bukan apa apa, itu penggalan lagu yang (saat ini) mengiringi jejemarianku menari nari diatas tubuh si LC. Aku suka sekali lagu itu. Apa lagi lagunya si Fika yang berjudul Doa Kalbu. Nyaman sekali mendengarnya. Tatkala juga hatiku yang sedang poyang payingan tak menentu ini mendapati setetes embun –terlalu sering berimajinasi aneh, penyakit gila nomor 571—.

Kembali pada bahasan awal. Hhmm..aku ingat, ketika tadi ada acara tambahan, mamacaca sebut itu salamsalaman. Unik memang istilahnya, salamsalaman. Ya, salamsalaman. Biar tiga gratis satu, aku tulis lagi, salamsalaman. Aku menjabattangani beberapa saudara dan saudariku yang entah aku telah berapa juta kali berdosa kepadanya, buku catatan dosaku aku titipkan pada malaikat rakib atid, aku berikan sajalah pada mereka, aku tak punya pulpen untuk mencatatnya, itu buku sepesial, tak bisa ditulisi dengan steadler, pilot, maupun snowman. Jabat tangan. !@#$%^&!@#$%^ (dianggap ada gambar jabat tangan).

“.......Adicara salajengipun inggih menika panutup. Saderengipun adicara menika kita tutup, ing mbok bilih anggenipun kula ndherekaken lampahing adicara ing siang menika kathah cicip cewet cicir kaduk cupeting nalar kiranging budi, labet kuthunging paramasastra, kula tansah mawantu wantu nyuwun lumebering sih samodra pangaksami........” kekalimatan itu masih terjiplak di memoar otakku, bekas waktu dulu itu pernah suatu kali aku berguru pada kangguru untuk memenuhi perintah atasan. Ya sekarang aku mendengarnya lagi, tapi tak kembar.

AC mati? Ya. Ooo. Baru aku sadari bahwa aku tak merasakan dinginnya belaian AC. Terlalunya aku dalam merasai dedinginan yang kadang beralih pada pepanasan dan kemudian kembali pada dedinginan lagi dan begitu seterusnya. Sepeti butuh semacam kondensator suhu yang menstabilkan suhu mesin kejiwaanku. Atau tetap pada belanjaanku siang ini di swalayan dedinginan.
Lotisan pelem, membuatku ingin pulang ke rumah orang tuaku..... Mamak..

Kamar kakakatin, 14 : 17
cempluk

Jumat, 01 Oktober 2010

Pertempuran tanpa musuh

[ 29 Sept 2010 ]
Mengedap-ngedipkan mata, itu saja. Aku suka. Karena tak mungkin aku mengedap-ngedipkan mulut, walaupun gerakannya sejenis, namun itu namanya bukan mengedap-ngedipkan, tapi ‘mongap-mangap’.
Setelah seharian kuliah luntang-lantung lantaran ditinggal dosen –tanpa surat ijin tidak masuk kuliah / semacam kewajiban mahamurid— ,, kemudian dibersamai oleh dosen yang ekstra sabar tenang dan pantang menyerah –berbeda dengan dosen yang mengajar tadi pagi jam pertama— bersama adik-adik maba yang sebenarnya aku tak sopan juga jika memanggilnya ‘dik’, ‘mas’, ‘mbak’, atau sekedar nama, huh mereka membuatku dilemtot ( dilema total : red ) pasalnya mereka itu sepantaran dengan aku, oke tinggalkan mereka,, kemudian pergi pulang ke kos untuk mengangkat jemuran –maksudku bajuku yang dijemur, bukan jemuran baju yang diangkat— karena rerintikan hujan sempat sekelebat menghujam di rumah semut pojokan kosanku,, kemudian sebeeeeentaaaaarrrr bernafas lega istirahat ngambruk di kamar kakakatin –padahal kemarin ada agenda rapat hari ini, tapi entahlah...—,, kemudian bersih diri dan bersiap bersenjata lengkap dengan segala atribut ketentuan dari atasan sana,, kemudian menuju kos kakakeka bersama kakakatin, eh enggak ding, kakakeka sudah terkondisikan di medan tempur bersama bundalin, kemudian aku dibersamai oleh kakakatin berjalan gegap gemita melalui jalan pintas yang sangat dahsyat karena jalan itu keren sekali (jangan bilang siapa-siapa, termasuk yang baca ini), oh ya, kami sedikit beralasan mengambil jalan pintas itu karena kami (maksudku : AKU) takut dengan guguk yang dibawa oleh mas dokter yang baru saja keluar dari rumah sakit hewan dan berjalan di belakang kami, kemudian setelah sampai di penghujung jalan pintas itu di pertigaan tiba-tiba si guguk –bersama mas dokter itu— makjengunggut ada di depan kami lagi, kemudian aku memaksakan diri untuk menyalahi peraturan polisi lalu lintas, biar sajalah aku memaksa kakakatin untuk tetap berjalan di lajur kanan, toh ini nggak ada polisi, mereka masih tidur dan nggak akan terbangun walaupun digigit nyamuk sekalipun, gara-garanya Cuma satu : di lajur kiri ada si guguk, aku tidak lagi memikirkan atribut dan persenjataan yang aku bawa, biar saja ‘malu’ kuusir sebentar dari bilik kanan jantungku, kemudian secara dumadakan : si guguk balik kanan maju jalan setelah kami menemukan lagi jalan pintas yang lain (ini juga jangan dibilangkan siapa-siapa ya.Sssstt), kemudian kemudian kemudian.... fyuuuhhh...terserang penyakit gila nomer berapa ya aku ini?
Hai....si pembaca, Anda bukan dari jurusan bahasa indonesia kan? Hmmm....itu tadi adalah contoh kalimat amat sangat super duper majemuk sekali, coba saja Anda membuat pola-pola SPOKnya, maka akan Anda dapati sebuah gambar tangga yang acak-acakkan. (Biarkan aku bergaya seperti ada secuwil manusia yang membaca tulisanku ini, walaupun sebenarnya tak akan ada yang membacanya, boro-boro membaca, membuka pun tidak, apalagi ngomen. Haha). Yah, mungkin seberantakan tangga itu lah kisah perjalanan hidupku yang panas dingin, aku hanya takut kalau terjadi pelapukan jiwa seperti batu yang melapuk karena terlalu cepatnya pergantian suhu. Haduh....ada lagi penyakit gila disini. Cukup.
Harusnya aku minta maaf kepada pak presiden, karena aku yang berstatus sebagai mahamurid ini jelas-jelas dengan sengaja merusak ejaan bahasa persatuan bahasa Indonesia. Tapi karena tak mungkin aku datang ke jakarta hanya untuk mengatakan hal itu (aku tidak mau mendramatisirkannya menjadi semacam perjalanan si Khan di pilem My Name is Khan itu walaupun aku bisa saja menulis judul My Name is Cempluk), dan aku tak punya nomer hapenya pak Presiden (lagipula hapeku juga belum sembuh dari keterserangan penyakit katarak, jadi dia sekarang buta), maka aku putuskan untuk melanjutkan mengetik luapan kelaparan yang tak jelas ini...
Oke. Kemudian sampailah kami di medan tempur.. Bertempurlah kami. Pertempuran yang sangat menengangkan, dahsyat, luar biasa, hebat, wuiiiihhhh....pokoknya mahatempur (Hah??apaan?dapat istilah dari mana?). Satu keunikan dalam pertempuran ini : PERTEMPURAN TANPA MUSUH.
Yah, karena aku takut akan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, maka aku akhiri saja tulisan nggak jelas ini. Sampaikan saja salamku untuk medan tempur yang tiap beberapa menit sekali terdengar bunyi “pppsssssttt”, itu bukan suara si siapa yang buang gas, tapi suara alat yang terpasang di atas sana yang sedikit membuat heharuman di tengah pertempuran. Dan salam juga untuk baling-baling yang setia berputar di atas sana. Oh ya, tak seperti yang terdahulu, pertempuran kali ini lebih mengenyangkan, eh, bukan, menyenangkan. Bagaimana tidak, tak ada ancaman, tak ada tembakan yang menghujam, tak ada meriam, tak ada bambu runcing, tak ada apa apa, malahan ada gelak tawa cekikak cekikik dan sedikit kepanikan yang berujung kelegaan karena komandan telah mengambil alih semuanya. Satu lagi, komandan mungkin sedang bersuka cita dengan bagasi mengkilapnya dan kostum jambonnya. Maka dari itu di akhir pertempuran ini sang komandan menitipkan gurauan tentang gelapnya dunia ini jika kita kehilangan petromak, eh, maksudku kehilangan sang pencerah (wah....jadi ingat, aku kepengen nonton film sang pencerah. Sruks sruks).
PERTEMPURAN TANPA MUSUH. Hanya akan terjadi di dalam diri ini, mungkin. Ketika ada satu kasus yang dihidangkan oleh satu kubu untuk kubu yang lain, sedangkan mereka berseteru kuat sekali, sedangkan diantara mereka terjalin suatu hubungan darah, sedangkan diantara mereka sudah terlanjur ada sajian konflik, sedangkan mereka bukan musuh. Maaf lagi, ini pun juga setipe dengan kalimat amburadul di atas.
Untuk bundalin, kakakeka, kakakatin, dan kakakkakak yang lain yang aku pun masih rumit tentang silsilah keluarga ini.

Rindha, cempluk, dik rin, rinrin, ndanda, rineka, apa lagi? Ya terserahlah...

Dan ketika kau temui kesedihan dalam hati yang tersebabkan karena suatu kekecewaan, maka bersyukurlah, karena sungguh kau masih diberi nikmat berupa hati untuk menikmati dan menjadi saksi betapa agungnya mahakarya ciptaan Allah ini, kau telah ditunjuk sebagai saksi. (Celetukan Cempluk di pojok kamar, 29 Sept 2010, 21:24 ]