Minggu, 21 Juni 2009

Tiga spot untuk permulaan

Sempurna. Kata itu mampu membuatku mengernyitkan dahi. Adakah manusia sempurna di muka bumi ini?

Seakan mereka menjawab, "Tidak. Itu tidak ada.". Ya, itu jawaban formalitas. Dalam setiap realita, kita dituntut untuk sempurna. Dimata mereka, tak ada tersisa bayangan ketidaksempurnaan. Yang mereka pandang, yang mereka perhatikan, yang mereka elu-elu kan, yang mereka tinggikan, yang mereka sayang, yang mereka cinta, yang mereka puja, itu yang sempurna, menurut mereka. Adakah sisa tempat dihatinya? barang secuil, untuk menampung sosok yang jauh dari sempurna, menurut mereka. Aku tak mengerti. Sama sekali aku tak tau. Bahkan, alasan mengapa aku menulis ini pun aku tak tau.

Aku bukan lah sosok yang sempurna. Entah luar, entah dalam. Kesan pertama mereka melihatku, tak pernah ada perhatian khusus. Aku hanya sosok kecil yang mungkin mereka anggap sama sekali tak memiliki medan magnet untuk menarik simpati mereka. Tak pernah dianggap. Masa bodoh lah mereka dengan setiap gerak-gerikku. Tak ada yang mempedulikan. Hingga seolah mereka mencap aku sosok kuper yang caper. Pertanyaanku, apa aku salah jika aku inginkan teman?

Kadang aku bertanya, mengapa mereka memperlakukan aku seperti itu. Mereka bertingkah seolah mereka hanya membuat mainan konyol. Mereka datang jika mereka butuh pelampiasan lelah, saat mereka menginginkan obyek untuk penumpahan emosi labil mereka. Lain, disaat aku butuh mereka, entah kearah mana wajah-wajah itu berpaling, tak kutemui. Mereka menghilang, seakan jarum-jarum yang terselip dalam tumpukan jerami.

Oke. Bahasan ini mengenai hitam dan putih, utara dan selatan, timur dan barat, atas dan bawah, kiri dan kanan, depan dan belakang, atau apalah opposites lainnya. Dan, mungkin aku menduduki posisi lawan dari kata baik. Dan, blak-blakkan aku nyatakan, ini menyangkut masa remaja-ku. Masa remaja yang penuh dengan kebimbangan.

Tak mungkin aku menyalahkan penciptaku, tak mungkin aku menyalahkan orang tuaku, tak mungkin aku menyalahkan keluargaku, tak mungkin aku menyalahkan para tetanggaku, tak mungkin aku menyalahkan sahabat-sahabatku, tak mungkin aku menyalahkan teman-temanku, tak mungkin aku menyalahkan guruku. Dan siapa yang harus aku salahkan? Haruskah aku menyalahkan diriku sendiri?? Harusnya aku tau jawabannya, tapi aku tak tau bagaimana harus menjawabnya.

Kejujuranku. Kadang aku merasa iri. Dengan mereka-mereka yang memiliki sosok sempurna. Jujur. Aku sering berkhayal andai aku di posisi mereka. Mereka yang selalu mendapat perhatian simpati bahkan empati dari orang-orang sekelilingnya. Yang kadang melukiskan seolah mereka mendapat tempat terindah dalam hati. Tak ku pungkiri bahwa itu lah realita. Realita bukan teori. Aku tak pernah menyalahkan mereka "sosok sempurna" itu yang telah merebut semua perhatian mata indah itu. Itu memang sebuah fakta yang nyata, tanpa perlu pembuktian dengan rumus-rumus trigonometri maupun relativitas. Dan aku terlalu lelah telah membuat cerita khayalan konyol yang imajinasif, tentang perjalanan hidup. Itu hanyalah kalimat-kalimat yang kurangkai dengan rapi, menghasilkan wacana, semacam bualan-bualan yang kujejalkan ku mulutku sendiri. Seolah itu obat untuk menyembuhkan rasa sakit ini. Obat. Dengan obat itu aku bisa bertahan sejenak, tertawa, ceria. Semua tertutup dengan rapih. Hingga akhirnya rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Sedang imajinasi ini tak kuasa lagi memunguti butiran kata yang tercecer dan meraciknya menjadi obat itu. Lelah. Obat itu hanya khayalan. Khayalan . Yang mungkin tak kan ada realisasinya.

Satu yang kujadikan wacana saat ini. May, kamu tu harus sadar! Kamu harus mengakui dan menerima semuanya!! Buka matamu! Enyahkan imajinasimu itu!! Hadapi dunia ini, tataplah kenyataan! Terima semua ini apa adanya!! Just the way it is!!!!

Sulit. Aku percaya, bahkan aku merasakan. Sulit untuk menjejalkan itu ke mulutku, sebagai pengganti obat itu. Bahkan langkah kerja itu tercecer takberaturan. Langkah kerja dokter yang membuat dirinya sendiri sebagai obyek percobaan riset obat. Obat. Lebih tepatnya : RACUN. Untuk meracuni bagian-bagian tubuhku yang sering merasa sakit. Oke, bagian itu adalah hati. Dan. Ini. Mungkin. Penyakit. Hati. Mungkin aku kurang dekat dengan dengan Allah.

Oke. Semua wacana ini berawal dari rasa sakitku atas berpalingnya diya. Diya. Panggil diya dengan sebutan "X". Dan mungkin semua hanyalah salah paham yang ga’ pernah dipahami. “X” adalah sosok, dimataku, dimata teman-teman, biyasa saja, diya tak sempurna, tapi diya sederhana, diya ga’ kaya’ yang lain yang suka ngumbar janji. Kesederhanaan yang diya tunjukkan itu yang menjadikan poin tersendiri atas dirinya. SMP. Tiga tahun aku belajar dalam satu ruang dengannya. Setahun yang terakhir aku baru menyadari bahwa ada yang lain dengan tingkahnya, juga perasaannku. Dan di tahun itu juga diya ungkapkan sebuah kata yang membuatku semakin teguh dengan pendirianku selama ini. Pendirian akan prinsipku, bahwa kemolekan fisik atau "kesempurnaan" itu bukan poin pertama yang dinilai. Itu prinsipku sejak aku duduk di bangku SD. Ibuku yang mengajariku. Awalnya aku hampir goyah dengan prinsip itu, tapi diya datang untuk meneguhkan kembali. Setelah diya teguhkan hati ini (meski tak pernah ada status yang jelas di antara kita), kita berpisah sekolah. Seiring berjalannya waktu, hubungan ini semakin buram, komunikasi tersendat, dan akhirnya komunikasi kami putus tepat kurang lebih satu setengah tahun pesta perpisahan itu. Walau selama itu aku simpan hasratku untuk mengucap kata 'miss u' dan aku tutup hatiku untuk orang lain, namun mungkin itu semua tak cukup membuatnya nyaman. Mungkin diya bosan, seperti kebosananku menunggu kedatangannya, sekedar meluangkan waktu untuk speak up, bosan dengan kediamannya. Diya bilang diya telah melupakan semua tentang aku dan diya, (cerita yang nggantung, nggak pernah jelas siapa yang menggantung dan siapa yang digantung.). Diya juga bilang bahwa diya telah menemukan sosok penggantiku. Itu kalimat terakhir darinya. Semenjak itu, diya tak pernah lagi kontak aku, tak pernah mengangkat telpon atau membalas smsku. Oke. Singkatnya, berdasarkan penelitian, aku menarik hipotesa bahwa sosok pengganti itu mungkin adalah sosok sempurna. Menurut mereka. Mungkin. Kembang Desa. Banyak yang menaruh simpati bahkan empati padanya. Oke. Aku tak akan menanyakan alasan mengapa begitu. Karena aku sudah tahu jawaban itu dan aku juga tahu gimana menjawabnya. Oke, aku terima. Jelas.

Itu cerita spot permulaan. Sejak itu, aku kesulitan untuk meneguhkan prinsipku kembali. Hanya aku seorang diri. Dengan kebimbangan yang luar biasa. Antara prinsip (teori) dengan realita yang ada di depan mata. Spot selanjutnya adalah "Y" sepupuku. Yang dulu melewati masa kecil bersamaku, yang mereka bilang kita anak kembar. Sekarang tumbuh menjadi sosok indah, sempurna, menurut mereka. Tak hanya itu, bahkan sosok yang dulu selau berbagi tawa bersamaku itu kini berubah menjadi sosok yang super tertutup denganku. Bahkan hampir tak ada sapaan ketika aku berkunjung ke rumahnya. Jika boleh saya berburuk sangka, apakah diya malu atau jijik bermain bersama sosok yang dulu orang-orang bilang kita kembar tapi sekarang seperti ini keadaannya? Atau kah diya sombong atas kemolekan yang menjadi sumber pujian banyak orang, sedang tubuhku yang menjadi omongan banyak orang? Tapi sayang, tak sepantasnya aku berpikiran sepicik itu. Oke. Jelas.

Lupakan spot itu.
Ada yang lain. Saudara ku, tepatnya anak mertua dari anak pakdheku, sebut saja "I". Ya. Dulu memang kami ga' begitu deket. Hanya saling kenal saja, kebetulan diya sekelurahan denganku. Sejak Ramadhan 2008 lalu, kami sering bertemu, sekedar ikut rapat, pertemuan karangtaruna, atau hanya ketemu di warung (diya anak pemilik warung tak jauh dari rumahku ). Sms-an. Hampir setiap hari. Sekedar ngingetin maem, solat, etc... Beberapa minggu. Bahasa sms nya smakin menjadi-jadi. Kata-kata "sayang" lepas begitu saja. Ada tanda tanya besar di jidat ini. Entah siapa yang bisa menjawabnya. Kuakui, diya tujuh taun lebih tua dariku. Diya lebih dewasa dariku. Tak mau ber suuzhan lagi. Aku percayai diya. Tempatku curhat. Apapun itu. Mulai dari ulangan harianku, sampai rahasiaku (saat itu) tentang sakit skoliosis yang mendera tubuhku. Ya. Awalnya diya bisa "momong" aku. Aku merasa nyaman. Lega, bisa menumpahkan apa yang kupendam. Aku juga kembali bangkit dari keruntuhan prinsipku itu. Aku senang orang lain mau menerimaku apa adanya. Just the way I am. Namun, tak lampau lama. Beberapa waktu lalu diya mulai berubah. Smua canda tawa darinya (yang mungkin tujuannya buat ngehibur aku), diya mungkin tak sadar kalau apa yang diya jadikan bahan candaan itu telah membuat aku tersayat, segala poin hitamku keluar begitu saja sebagai suatu canda. Awalnya sih aku bisa terima candaan itu. Tapi lama-kelamaan semua itu membuatku bosan dan sedikit enggan dengannya. Diya kuuanggap kakakku. Aku berharap diya bisa "momong" aku lagi kaya' dulu. Tapi sekarang? Aku ga' tau ah....

Aku butuh waktu, barang sejenak, untuk aku mengerti hidupku. Untuk aku menata hati. Bukan untuk mendapat seonggok daging yang duduk di sampingku. Tapi untuk mendapat sejimpit hikmah dan titik terang, menemaiku menuju aku yang lebih dewasa di hari esok. Semoga.

Tiga spot mungkin mewakili berpuluh-puluh spot hidupku yang lain. Biarkan. Aku menempuh hidupku, bukan hidumu.

Dalam sholatku, aku terlalu cengeng. Aku sering curhat ma Allah (padahal Allah lebih tau tentang aku dari pada aku). Aku pengen terus-terussan curhat ma ortuku, tapi itu hanya menambah beban mereka, hanya sesekali aku curhat, yang sekiranya tidak begitu memberati mereka. Aku pengen ada seseorang yang mau terus-terussan mendengar ceritaku, tapi aku ga' tau siapa, ketika aku mencoba curhat dengan teman-temanku, dari mimik mereka aku tau di benak mereka ada kalimat "caper deh". Suuzhan lagi tu. Ya. Aku juga merasa belum mampu berperan sebagai "pendengar setia" bagi orang-orang disekitarku, aku pun ga' boleh merindukan mereka untuk mampu menjadi "pendengar setia" ku.

Ya. Seusai kurampungkan ujian akhir. Aku mencoba berkenalan dengan dunia internet. Aku buat email. Aku buat blog. Sekedar sebagai tempat "jor-jor"an uneg-uneg hati. Entah siapa pun yang baca. Entah apa pun komentar mereka. Aku hanya ingin sedikit meluapkan isi hati. Setidaknya aku lega, tidak aku pendam sendiri.

Buat temen-temen yang kebetulan kenal aku, maafin aku ya..........

1 komentar:

  1. le ngenes meen hare critamu kiee....

    ya ampuuunnn. .

    eh mbok postinganmu kie di read more waee.. ben

    ra ngebak-ngebaki blog.....

    oke..okee..

    BalasHapus

Kula aturi absen rumiyin...