Kamis, 18 Juni 2009

Sepenggal naskah

.....
“Mengapa tak kau tancapkan saja belati itu? Padahal kulit telah mengelupas. Padahal daging telah tersayat. Padahal darah telah mengucur. Mengapa tak kau tancapkan saja belati itu?!!! Agar tak ada kisah yang lebih panjang tentang derita itu. Agar tak ada air tangis di pelupuk. Agar tak ada mata sayu yang kian redup. Agar tak ada otot pipi yang romusha untuk tersimpul. Mengapa tak kau tancapkan saja belati itu?!!!”

“Ma’af, bukan tanpa sebab kugantungkan belati itu disana. Sebab bimbang tangan ini menggenggam belati itu erat. Sebab berat lengan ini menyangga belati itu. Sebab masih ada hasrat dalam kuku-kuku ini untuk membiarkanmu lebih indah. Ma’af, bukan tanpa sebab kugantungkan belati itu disana. Sebab aku tak ingin kau melihatnya lagi. Sebab aku tak ingin kau menyentuhnya lagi. Sebab aku tak ingin kau menggenggamnya lagi. Ma’af, bukan tanpa sebab kugantungkan belati itu disana.”

“Bedebah! Dimana kau simpan kornea matamu???! Tiadakah terlihat olemu darah ini? Tiadakah terlihat olehmu luka ini? Tiadakah terlihat olehmu air tangis ini? Dimana kau simpan kornea matamu???!”

“Bukan tiada tempat kuletak korneaku, tempat itu disana. Agar tak menjumlah darahmu. Agar tak menjumlah lukamu. Agar tak menjumlah semua itu. Bukan tiada tempat kuletak korneaku.”

“Hanya itukah yang masih terselip di tumpukkan otakmu yang koclok? Dimana kau lempar file-file mu yang dulu? Dimana recycle bin kah itu? Dimana semua itu? Hanya itukah yang masih terselip di tumpukkan otakmu yang koclok???!!”

“Tiada pernah kulempar folder yang berisikan file-file itu. Hanya kusimpan dalam my document. Hanya sesekali kujalankan scan dari virus. Tiada pernah kulempar folder yang berisikan file-file itu.”

“Lantas! Mengapa tak kau pikirkan tentang itu?!! Tentang proposal yang kau ajukan dulu. Tentang artikel yang kau tuliskan dulu. Tentang curriculum vitae yang kau runut agar aku percaya. Tentang planning pertama yang terkatakan dulu. Lantas! Mengapa tak kau pikirkan tentang itu?!!”

“Sepurane. Ada suatu hal yang jadikan pondasi itu tergoyah. Adalah aku yang memunyai pandangan yang berbeda. Adalah satu tanya yang tak kunjung ku temui rumus untuk menyelesikannya. Bukan pithagoras, bukan logaritma, ataupun trigonometri. Sepurane”

“Adakah saka guru atas ucapanmu itu? Karena ketidaksempurnaanku kah, yang semakin banyak kau temui seiring penulisan artikel itu? Karena fisikku kah, yang setiap mereka pasti enggan menatap? Adakah saka guru atas ucapanmu itu?”

“Tidak. Bukan itu. Justru karena kesempurnaanmu. Tak berhak aku untuk membuat ukiran-ukiran lekuk itu padamu. Karena menurutku kau sempurna tanpa aku. Aku hanya menjadi gulma bagimu. Yang merusakmu. Lantas tak kulanjutkan pekerjaan itu, yang hanya membuat noda dalam dirimu. Lantas kubiarkan luka itu mongering. Justru karena kesempurnaanmu.”

“Itu kah rentetan kata yang kau kurung selama ribuan hari? Yang kau kurung di bawah lidahmu. Tak pernah kau biarkan dia menghirup oksigen bebas. Itukah rentetan kata yang kau kurung selama ribuan hari? Tak sepenuhnya kupercayai itu. Bahkan mereka bilang kau pengecut!!!
.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kula aturi absen rumiyin...