Kamis, 24 Maret 2011

Pletaaaaakkkk!

Pletaaaakkk..! Bambu tua itu tiba-tiba saja patah, entah kenapa. Semut di dalamnya sumamburat berlarian keluar, seperti ada bencana tsunami kering. Satu di antara mereka ada yang menarik perhatian si burhan, semut hitam kecil yang memikul seupa nasi, itu satu-satunya makanan yang sempat tergendong keluar patahan bambu penyangga lincak itu. Burhan tersenyum kecil, sekecil biji sawi (walaupun aku pun belum pernah melihat biji sawi itu seperti apa).

Sebenarnya apa yang dia perhatikan saat ini sungguh tak beranalogi dengan apa yang dia pikirkan. Pikirannya kembali kepada masa tadi pagi, ketika hentakan itu menghujam keras di depan mukanya. Air matanya berlinang tak karuan, dia mungkin lupa kalau di KTPnya tertulis “laki-laki” tak sama dengan yang ada di KTP milik ibunya.


“Bagaimana bisa kamu beranjak dewasa?!! Lihatlah pada dirimu! Jangan pada cermin yang tergantung di dinding kamarmu, tapi pada dirimu! Kedewasaan macam apa yang selalu kau inginkan namun tak pernah kau awali dengan langkah menuju cita-cita itu? Kamu sungguh aneh! Hai kamu yang tatanan rambutmu mirip sekali dengan bocah usia TK! Hai kamu yang selalu nglendhot-nglendhot seperti kucing yang minta makan! Hai kamu yang merengek manja setiap ada secuil masalah yang sebenarnya tak perlu dipermasalahkan! Hai kamu yang selalu bilang “aku ingin kurus sepertimu, aku nggak suka badanku, aku ingin tinggi, aku ingin putih bersih berseri, aku ingin blab la blab la” dan selalu membandingkan dirimu dengan mereka yang mempunyai apa apa yang kau inginkan itu! Hai kamu yang tak berani ke kampus sendirian! Hai kamu yang tak mau beli maem sendiri ke warung! Hai kamu yang minta ditemani ini itu kesana kemari! Hai kamu yang tak tau waktu ketika pacaran! Hai kamu yang selalu menanggapi setiap godaan “orang-orang nggak jelas”! Hai kamu yang mau ketemuan dengan si A, si B, si C, dkk, padahal kamu sudah bukan jomblo lagi dan bahkan tak pernah mengatakan pada mereka bahwa kamu tak sendiri! Hai kamu yang selalu mengumbar panggilan “mas” kepada siapa saja entah berapa umurnya, (ibuku bilang, mas itu mahal)! Hai kamu yang cengeng! Hai kamu yang selalu menggandeng tangan ketika berjalan berdua seperti manten sejenis, seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya! Hai kamu yang selalu ikut-ikutan apa keputusan teman (aku)! Hai kamu yang tak mau berdiri sendiri! Hai kamu..! Hai kamu!!! Tak tau atau tak mau tau!!! Jika itu kau pertahankan dan bermaksud ‘ah, aku ingin diperhatikan terus, aku ingin dipuja-puja terus, aku ingin disayang terus, aku ingin dimanja terus, bla bla bla’, lantas KAPAN KAU AKAN BERANJAK DEWASA!!! Kawan, bukan kuncup dadamu yang menandakan kedewasaanmu! Tapi tingkahmu!! Pola pikirmu! Bukan fisikmu! Kawan, sadarkan kau? Temanmu seperti ingin muntab saja namun tak pernah tega, tak pernah terlaksana. Temanmu merasa mbeseseg! Ah…! Kapan kamu akan paham… Ah… Fyuh….” (Pletaaaaaakk! Bunyi retakan hati yang sudah beranjak pecah berkeping-keping)


Burhan mengusap air matanya. Burhan menangis. Seorang burhan menangis. Sebenarnya bukan di untuk burhan kata-kata itu, jelas saja. Kata-kata itu untuk adik perempuannya, dari seorang teman yang entah darimana asalnya, yang tiba-tiba berkunjung ke rumah dan menyerahkan surat itu kepada tuan rumah (Burhan) lalu berpamit pulang. Burhan membacanya. Tepat di depan mukanya. Dia pandangi foto adiknya, “Hai kamu yang menjadi adikku, dimana kau?” Burhan menghempaskan wajahnya ke bantal…




24 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kula aturi absen rumiyin...