Senin, 31 Januari 2011

aku menujunya

Ketika aku berjalan di sebuah taman, aku melihat macam-macam bunga, tertanam di sana. Aku dekati mereka, mereka terpencar satu sama lain. Ada yang di bawah pohon rindang, tampak sejuk menyejukkan dan sangatlah menarik hati. Aku ingin sekali mendekatinya dan memilikinya, indah sekali. Namun ketika aku melangkah menujunya, aku melihat dari arah yang berlawanan, ada yang mendahuluiku sampai ke tempat itu, pun dari sisi lain ada juga yang menghapirinya, tak hanya satu, banyak, dari berbagai penjuru.

Aku terdiam. Aku memutar langkahku, menatap ke atas sana. Ada sebentuk mentari yang tersenyum manis padaku. Melihatku dalam kubang-kubang kesendirian yang indah dimatanya. Langit tampak cerah secerah aku mencoba mengobati rasaku, tak ada gumpalan awan sedikit pun, hingga tampak luas seluas harapan.
Ketika aku melempar senyumku ke arah mentari itu, aku mendengar sesuatu memanggilku, "Hai, nak, apa yang kau lakukan disana??!". Aku menolehkan wajah, terlihat seorang bapak tua dengan pakaian lusuh dan topi yang sobek di bagian pinggirnya, menatapku penuh kelembutan dan melambaikan tangan ke arahku. Si bapak itu, penjaga taman ini.

Mataku tersenyum, mengiringi langkah santaiku menuju si Bapak. Bapak itu mengajakku duduk di kursi taman yang tak jauh dari kolam, sebelum aku sempat menjawab pertanyaanya tadi.

"Sendirian saja, nak?", tanyanya, sambil mempersilahkan aku duduk di kursi berwarna merah jambu.
"Iya, pak. Tadinya cuma lewat saja, tapi tertarik masuk karena lihat kuntum bunga di sebelah sana", jawabku sembari melempar pandanganku ke arah kerumunan orang-orang yang menutupi bunga tadi dari pandanganku.

Si Bapak hanya tersenyum, lalu berjalan menuju tengah taman. Aku bingung. Kuikuti saja langkah bapak itu. Pikiranku berputar, apa maksudnya?. Tiba-tiba si Bapak menghentikan langkah tepat di ujung jalan berbatu kerikil kecil-kecil.
"Nak, mengapa kau tak mengambilnya saj?", tanya si Bapak dengan pandangan penuh isi.
"Terlalu indah untuk dipetik, pak. Apalagi banyak yang berharap sama denganku", jawabku lirih tanpa nada yang menandakan aku sedang kebingunan di tengah keseriusan.
"Bukan itu, Nak. Tapi ini," si Bapak berjongkok lalu menunjuk pada sebatang tanaman di depannya, di ujung jalan itu.

Tanaman itu belum ada cabangnya, walaupun nyatanya itu adalah tanaman bercabang. Batangnya setengah layu mencoba tetap berdiri tegar. Daunnya lusuh, seperti baju si Bapak tadi. Bunganya belum sempurna, baru kuncup kecil yang mungkin juga hampir layu. Ditumbuhi rumput di sekelilingnya. Keadaanny berlawanan sekali dengan bunga di bawah pohon rindang tadi.

Aku masih terdiam, membisu seribu kata.

"Nak, ambillah," si Bapak menyuruhku mengambilnya.

Masih setengah sadar, aku mengelus tanaman itu dengan lembut, entah dari mata asalnya aku melakukannya dengan posisi mataku berair.
"kenapa, pak?" suaraku serak.

"Nanti kau akan tau, ambillah, dia menunggumu disini lama, dia sudah di ujung jalan," si Bapak bangkit dari jongkoknya dan berjalan meninggalkan aku yang masih kebingungan.

Ku tatap lekat-lekat tanaman layu di depanku. Perlahan kuambil dia, kubawa dengan kedua tanganku. Bajuku terkotori tanah yang ada di akarnya, kukibaskan.

Aku berdiri dan ingin menanyakan sekali lagi kepada si Bapak. Namun si Bapak sudah menghilang dari taman. Tidak ada di tempat yang tadi, tak ada di kursi taman merah jambu, tak ada balik semak, tak ada di mana-mana.

Dengan langkah yang kuseret perlahan penuh rasa bimbang ku bawa tanaman itu menyusuri jalan kerikil kecil-kecil itu. Sesekali aku meringis karena kerilik itu satu dua ada yang tajam menghujam kakiku.

Hingga di gerbang taman, aku tersenyum melihat secercah sinar menyejukkan dari balik pohon tepi jalan.

Aku menujunya.






Warnet Kuningan, blok 7
1 Februari 2011

(Rinda Rindu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kula aturi absen rumiyin...