[ 29 Sept 2010 ]
Mengedap-ngedipkan mata, itu saja. Aku suka. Karena tak mungkin aku mengedap-ngedipkan mulut, walaupun gerakannya sejenis, namun itu namanya bukan mengedap-ngedipkan, tapi ‘mongap-mangap’.
Setelah seharian kuliah luntang-lantung lantaran ditinggal dosen –tanpa surat ijin tidak masuk kuliah / semacam kewajiban mahamurid— ,, kemudian dibersamai oleh dosen yang ekstra sabar tenang dan pantang menyerah –berbeda dengan dosen yang mengajar tadi pagi jam pertama— bersama adik-adik maba yang sebenarnya aku tak sopan juga jika memanggilnya ‘dik’, ‘mas’, ‘mbak’, atau sekedar nama, huh mereka membuatku dilemtot ( dilema total : red ) pasalnya mereka itu sepantaran dengan aku, oke tinggalkan mereka,, kemudian pergi pulang ke kos untuk mengangkat jemuran –maksudku bajuku yang dijemur, bukan jemuran baju yang diangkat— karena rerintikan hujan sempat sekelebat menghujam di rumah semut pojokan kosanku,, kemudian sebeeeeentaaaaarrrr bernafas lega istirahat ngambruk di kamar kakakatin –padahal kemarin ada agenda rapat hari ini, tapi entahlah...—,, kemudian bersih diri dan bersiap bersenjata lengkap dengan segala atribut ketentuan dari atasan sana,, kemudian menuju kos kakakeka bersama kakakatin, eh enggak ding, kakakeka sudah terkondisikan di medan tempur bersama bundalin, kemudian aku dibersamai oleh kakakatin berjalan gegap gemita melalui jalan pintas yang sangat dahsyat karena jalan itu keren sekali (jangan bilang siapa-siapa, termasuk yang baca ini), oh ya, kami sedikit beralasan mengambil jalan pintas itu karena kami (maksudku : AKU) takut dengan guguk yang dibawa oleh mas dokter yang baru saja keluar dari rumah sakit hewan dan berjalan di belakang kami, kemudian setelah sampai di penghujung jalan pintas itu di pertigaan tiba-tiba si guguk –bersama mas dokter itu— makjengunggut ada di depan kami lagi, kemudian aku memaksakan diri untuk menyalahi peraturan polisi lalu lintas, biar sajalah aku memaksa kakakatin untuk tetap berjalan di lajur kanan, toh ini nggak ada polisi, mereka masih tidur dan nggak akan terbangun walaupun digigit nyamuk sekalipun, gara-garanya Cuma satu : di lajur kiri ada si guguk, aku tidak lagi memikirkan atribut dan persenjataan yang aku bawa, biar saja ‘malu’ kuusir sebentar dari bilik kanan jantungku, kemudian secara dumadakan : si guguk balik kanan maju jalan setelah kami menemukan lagi jalan pintas yang lain (ini juga jangan dibilangkan siapa-siapa ya.Sssstt), kemudian kemudian kemudian.... fyuuuhhh...terserang penyakit gila nomer berapa ya aku ini?
Hai....si pembaca, Anda bukan dari jurusan bahasa indonesia kan? Hmmm....itu tadi adalah contoh kalimat amat sangat super duper majemuk sekali, coba saja Anda membuat pola-pola SPOKnya, maka akan Anda dapati sebuah gambar tangga yang acak-acakkan. (Biarkan aku bergaya seperti ada secuwil manusia yang membaca tulisanku ini, walaupun sebenarnya tak akan ada yang membacanya, boro-boro membaca, membuka pun tidak, apalagi ngomen. Haha). Yah, mungkin seberantakan tangga itu lah kisah perjalanan hidupku yang panas dingin, aku hanya takut kalau terjadi pelapukan jiwa seperti batu yang melapuk karena terlalu cepatnya pergantian suhu. Haduh....ada lagi penyakit gila disini. Cukup.
Harusnya aku minta maaf kepada pak presiden, karena aku yang berstatus sebagai mahamurid ini jelas-jelas dengan sengaja merusak ejaan bahasa persatuan bahasa Indonesia. Tapi karena tak mungkin aku datang ke jakarta hanya untuk mengatakan hal itu (aku tidak mau mendramatisirkannya menjadi semacam perjalanan si Khan di pilem My Name is Khan itu walaupun aku bisa saja menulis judul My Name is Cempluk), dan aku tak punya nomer hapenya pak Presiden (lagipula hapeku juga belum sembuh dari keterserangan penyakit katarak, jadi dia sekarang buta), maka aku putuskan untuk melanjutkan mengetik luapan kelaparan yang tak jelas ini...
Oke. Kemudian sampailah kami di medan tempur.. Bertempurlah kami. Pertempuran yang sangat menengangkan, dahsyat, luar biasa, hebat, wuiiiihhhh....pokoknya mahatempur (Hah??apaan?dapat istilah dari mana?). Satu keunikan dalam pertempuran ini : PERTEMPURAN TANPA MUSUH.
Yah, karena aku takut akan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, maka aku akhiri saja tulisan nggak jelas ini. Sampaikan saja salamku untuk medan tempur yang tiap beberapa menit sekali terdengar bunyi “pppsssssttt”, itu bukan suara si siapa yang buang gas, tapi suara alat yang terpasang di atas sana yang sedikit membuat heharuman di tengah pertempuran. Dan salam juga untuk baling-baling yang setia berputar di atas sana. Oh ya, tak seperti yang terdahulu, pertempuran kali ini lebih mengenyangkan, eh, bukan, menyenangkan. Bagaimana tidak, tak ada ancaman, tak ada tembakan yang menghujam, tak ada meriam, tak ada bambu runcing, tak ada apa apa, malahan ada gelak tawa cekikak cekikik dan sedikit kepanikan yang berujung kelegaan karena komandan telah mengambil alih semuanya. Satu lagi, komandan mungkin sedang bersuka cita dengan bagasi mengkilapnya dan kostum jambonnya. Maka dari itu di akhir pertempuran ini sang komandan menitipkan gurauan tentang gelapnya dunia ini jika kita kehilangan petromak, eh, maksudku kehilangan sang pencerah (wah....jadi ingat, aku kepengen nonton film sang pencerah. Sruks sruks).
PERTEMPURAN TANPA MUSUH. Hanya akan terjadi di dalam diri ini, mungkin. Ketika ada satu kasus yang dihidangkan oleh satu kubu untuk kubu yang lain, sedangkan mereka berseteru kuat sekali, sedangkan diantara mereka terjalin suatu hubungan darah, sedangkan diantara mereka sudah terlanjur ada sajian konflik, sedangkan mereka bukan musuh. Maaf lagi, ini pun juga setipe dengan kalimat amburadul di atas.
Untuk bundalin, kakakeka, kakakatin, dan kakakkakak yang lain yang aku pun masih rumit tentang silsilah keluarga ini.
Rindha, cempluk, dik rin, rinrin, ndanda, rineka, apa lagi? Ya terserahlah...
Dan ketika kau temui kesedihan dalam hati yang tersebabkan karena suatu kekecewaan, maka bersyukurlah, karena sungguh kau masih diberi nikmat berupa hati untuk menikmati dan menjadi saksi betapa agungnya mahakarya ciptaan Allah ini, kau telah ditunjuk sebagai saksi. (Celetukan Cempluk di pojok kamar, 29 Sept 2010, 21:24 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kula aturi absen rumiyin...