BUDAYA NYANGONI DI HARI IDUL FITRI
BAB l
PENDAHULUAN
Idul Fitri adalah hari kemenangan bagi umat islam setelah sebulan berpuasa, bertarung dengan syetan, menahan lapar dan dahaga serta mengurung hawa nafsu. Dimana di hari nan fitri ini kita kembali suci, seperti bayi baru lahir. Saling maaf-memaafkan, sehingga leburlah kesalahan-kesalahan kita selama setahun yang lalu.
Makna Idul Fitri tersebut tampaknya kurang begitu kita pahami, terutama oleh anak-anak. Lantunan takbir yang didominasi oleh suara anak-anak dengan semangat yang menggebu, menggambarkan betapa bahagianya mereka menyambut datangnya Idul Fitri. Namun makna Idul Fitri yang sebenarnya belum mereka pahami. Yang mereka tahu di Hari Lebaran ini mereka akan mengenakan baju baru, akan ada banyak makanan di meja tamu, akan banyak acara jalan-jalan (halal bihalal), dan akan mendapat banyak uang.
Tidak menutup kemungkinan bahwa “mendapat banyak uang” menjadi faktor utama kegembiraan mereka menyambut idul fitri. Pendapat ini diperkuat dengan keadaan pasar. Para pedagang pakaian mengaku bahwa dagangannya yang paling laku adalah pakaian anak-anak yang ada banyak saku / kantongnya. Betapa tidak, baik anak laki-laki ataupun perempuan saat ini lebih mementingkan ada tidaknya saku di bajunya daripada pantas tidaknya mereka mengenakan baju itu. Perlu diketahui, yang dimaksud “anak-anak” disini adalah mereka yang berusia 3-7 tahun. Anak-anak diatas usia itu pada umumnya sudah mengerti akan rasa “malu” untuk menerima uang dari tetangga-tetangga mereka. Walaupun tidak menutup kemungkinan diantara mereka juga masih ada yang senang jika mendapat uang banyak di hari Idul Fitri, dan tindakan mereka tidak hanya mengenakan pakaian bersaku banyak, tetapi juga membawa dompet.
Belum diketahui sejak kapan budaya “memberi uang” lebaran ini tumbuh subur di Indonesia. Yang kita ketahui selama ini budaya “memberi uang” identik dengan budaya Tahun Baru China (imlek), yang kita kenal dengan istilah angpau. Dan dewasa ini banyak orang menyebut ‘pemberian uang waktu lebaran’ dengan angpau, yang tentu saja (dikenal) sangat kental dengan tradisi tahun baru China. Entah siapa yang memantiknya, yang pasti gejala ini semakin menambah warna indah dalam perangai berbahasa, setidaknya ada semacam pengembangan dalam penggunaan kosakata yang sangat khusus menjadi kosakata yang diterima dalam tradisi yang berbeda (walaupun penggunaannya masih dalam ragam bahasa lisan (bahasa percakapan), dan sedikit untuk tulisan). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta, angpau bermakna ‘hadiah atau pemberian uang (pada hari Tahun Baru dsb)’. Berdasar pengertian ini, ternyata angpau begitu lentur untuk dipakai, asalkan ada pemberian berupa hadiah atau uang; ada yang memberi dan yang diberi. Keterangan yang ada dalam tanda kurung, yang bersifat mana-suka, juga menunjukkan bahwa angpau tidak melulu hanya ada pada perayaan tahun baru saja. Sesederhana itukah? Pengertian di atas juga tidak membatasi apakah angpau harus memakai amplop merah, seperti yang biasanya terlihat, atau mungkin putih atau bahkan tak-beramplop. Padahal, sebenarnya, angpau berasal dari bahasa cina Hokkian: ang berarti ‘merah’ dan pau berarti ‘bungkus(an)’.
Disini akan membahas mengenai budaya “memberi uang” Idul Fitri di Indonesia, khususnya di Jawa. Dan saya (sebagai penulis) lebih senang menyebutnya “sangu” (bhs.Jawa : uang saku) daripada “angpau”.
BAB ll
BUDAYA NYANGONI
2.1 Budaya nyangoni menjadi ciri khas idul fitri di Jawa
2.1.1 Pengertian nyangoni
Nyangoni berasal dari kata dasar sangu, yang berarti uang saku. Mendapat awalan “ny” dan akhiran “i”, menjadi kata nyangoni, yang berarti memberi uang saku. Memang secara garis besar tidak berbeda dengan istilah angpau. Hanya saja istilah angpau identik dengan nuansa cina, dan sangu / nyangoni identik dengan nuansa jawa.
2.1.2 Budaya nyangoni menjadi ciri khas idul fitri di Jawa
Budaya “memberi uang” lebaran mungkin tidak hanya ada di Jawa, tapi kita akan membatasi pembicaraan kita sebatas budaya nyangoni di Jawa. Rasanya tidak lengkap bila menyambut tamu (terutama anak-anak) dengan tangan kosong. Itulah yang ada di benak para orang tua dan simbah-simbah. Oleh karena itu mereka sudah menyiapkan sejumlah uang kertas untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak. Biasanya mereka menukarkan uang di bank, dengan begitu uang yang akan dibagikan adalah uang kertas baru yang banyak disukai anak-anak. Cara nyangoni pun beragam, ada yang memberikan secara langsung kepada anak tanpa amplop, ada yang mengamplopi dengan amplop yang berwarna-warni, ada yang memberikan lewat orang tuanya, dan lainnya.
Pada umumnya tradisi nyagoni ini dilakukan ketika sedang ada pertemuan keluarga besar (trah), berkunjung ke rumah saudara, atau pun ketika ada saudara yang dating ke rumah kita. Walaupun rata-rata yang mendapat sangu adalah mereka yang masih memiliki hubungan darah, namun ada juga yang memberikan sangu kepada anak-anak tetangga.
Tersenyum malu-malu sembari mengucap terimakasih sudah menjadi kebiasaan anak-anak ketika menerima uang dari paklik, bulik, pakdhe, budhe, simbah. Tak banyak dari mereka yang menolak dengan halus pemberian itu. Dan tak sedikit dari para pemberi sangu yang sedikit memaksa si anak untuk menerima uang itu. Dan memang begitulah budaya Jawa.
Nilai nominal uang yang sering digunakan untuk nyangoni, antara lain : seribuan, dua ribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan, dua puluh ribuan ataupun lima puluh ribuan. Adapun yang menggunakan uang kertas seratus ribuan, namun itu di masyarakat kalangan atas.
2.2 Adanya “perputaran uang” yang unik
Ada sesuatu yang unik dibalik tradisi nyangoni, yang mungkin tidak banyak orang yang membicarakannya tetapi hal ini terjadi hampir di setiap keluarga yang memiliki anak kecil. Sesuatu yang unik ini saya sebut sebagai “perputaran uang”. Saya mengambil istilah itu karena emang itulah yang sesuai untuk menggambarkan keunikan ini.
Untuk mengungkapkan hal ini, ada pun deskripsinya :
Ada dua keluarga, yaitu keluarga A dan B. Masing-masing terdiri dari bapak, ibu, dan seorang anak kecil berusia lima tahun. Ketika keluarga A berkunjung ke rumah keluarga B, ibu B memberikan sangu kepada anak A. Karena si anak A masih terlalu kecil untuk menyimpan uang sendiri, maka uang itu disimpan oleh ibunya. Dan ketika keluarga B berkunjung ke rumah keluarga A, ibu A memberikan sangu kepada anak B, dan nilai nominalnya sama dengan nilai nominal uang yang diberikan oleh ibu B kepada anaknya (anak A). Dan karena si anak B juga masih terlalu kecil untuk menyimpan uang, maka uang itu kembali ke dompet si ibu B.
Secara langsung maupun tidak langsung ternyata telah terjadi suatu perputaran uang diantara dua keluarga itu. Itu didukung oleh budaya kita ‘memberi sesuatu kepada orang lain minimal sama dengan apa yang kita terima dari mereka’. Dan perputaran semacam itu juga bisa terjadi diantara puluhan keluarga, tidak hanya dua keluarga saja. Perputaran uang lebih dominant terjadi diantara keluarga yang memiliki anak kecil yang belum mengerti akan uang atau nilai nominal uang. Biasanya orang tua berdalih ‘pinjam’ atau ‘ibu yang menyimpan supaya aman’. Walaupun tidak semua orang tua menggunakan cara itu, namun di kalangan masyarakat desa cara itu sudah biasa, hanya saja tidak semua keluarga mau membicarakannya.
2.3 Hikmah dibalik budaya nyangoni
Secara sadar maupun tidak ternyata terdapat banyak hikmah yang tersimpan dibalik budaya nyangoni. Adapun hikmah tersebut antara lain :
a. mempererat tali persaudaraan
b. menghormati orang yang lebih tua
c. menghargai pemberian orang lain
d. melatih diri untuk bersedekah
e. menjaga hati dari sifat sombong
BAB lll
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Apapun istilah yang digunakan untuk menyebut “memberi uang” lebaran, yang terpenting adalah tindakannya, bukan istilahnya. Tindakan itulah yang membawa banyak hikmah dalam kehidupan kita.
Nyangoni sudah menjadi tradisi, baik di kalangan masyarakat atas, menengah ataupun bawah. Tidak salah jika banyak orang yang mengatakan bahwa budaya ini adalah suatu kebiasaan yang secara tidak langsung menjadi suatu ‘kewajiban’ bagi mereka-mereka yang sudah berpengasilan untuk menyisihkan sebagian penghasilannya. Hal ini diperkuat dengan faktor “balas budi”, dimana setidaknya kita memberi kepada orang lain sama dengan apa yang mereka beri kepada kita.
Budaya nyangoni merupakan budaya yang pantas untuk dipertahankan karena banyaknya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, tidak hanya dalam rangka sebagai pelengkap idul fitri tetapi sebagai sarana guna melatih diri kita untuk menjalankan syariat islam yaitu bersedekah. Dan juga melatih diri untuk ikhlas, senantiasa ingat bahwa harta adalah titipan Allah SWT, dan kita tidak pantas sombong atas apa yang kita miliki. Belajar berbagi dengan orang-orang disekitar kita.
3.2 Daftar Pustaka
http://www.lidahibu.com/kerabat-kerja/nikodemus-wuri-kurniawan/
http://dutamasyarakat.com/rubrik-200-metro-style.html
salut unutk analisanya... apa boleh kapan2 tulisan mbak saya sebarluaskan di beberapa jejaring sosial ? soalnya cara pandang mbak yang unik yang membuaut tulisan ini enak dibaca.. RIFAN MALANG JAWA TIMUR
BalasHapusNggih.... nanging, nama kula ampun dipun-gantos. Hehe
BalasHapus