Senin, 22 Juni 2009

Ga' sekedar ngomong (part1)

(semoga)
…..
Bangun jam 05.30, menuju kamar mandi, pipis. Balik ke kamar, betulin selimut, merem. Bapak datang, ketok-ketok pintu kamar. Terbangun, senyum. Bapak menuju teras. Tidur lagi, badan dibungkus selimut. Beberapa menit kemudian, Ibu datang, tepuk-tepuk badanku, terbangun. Ibu kembali ke dapur. Aku lipat selimut, tiduran bentar, tertidur. Jam 06.00 Bapak datang, serasa gempa bumi pintu kamar digebrak-gebrak. Melek. Secepat kilat beresin kamar (takut kena omelan bapak lagi). Melesat menuju keran di halaman tengah, wudhu, sholat subuh. Momong adek bayi. Nganterin adek ke sekolah. Maem sambil nonton tipi, sambil smsan, sambil baca-baca soal (ga’ nyantel). Momong adek bayi, sambil lipat-lipat baju. Jemput adek. Bobok. Dhuhur. Menjelang sore, mandi (cukup satu kali sehari). Momong adek bayi sambil nonton tipi. Maghrib. Sibuk di depan gatged, bikin artikel ga’ penting ato edit foto ato ngGame.
…..


…..
Byar… Lampu tiba-tiba nyala, Bapak yang nyalain. Aku ngilir, masih jam 04.00. Lampu mati lagi. Brek. Bobok lagi dah. Klothak-klothek… Adikku mukul-mukul piring pake sendok di deket kupingku. Ya, dia anak TK, jam 6pagi udah siap sarapan. Terpaksa aku bangun, berduyun sempoyongan menuju kamar mandi. Liburan gini bikin males bangun pagi. Sholat subuh. Sarapan. Nganterin Aadek sekolah. Cuci baju. Nonton tipi sambil momong adek bayi. Jemput adek di sekolah. Nonton tipi lagi sampil otak atik di depan gatged, ngeGame. Ketiduran. Lupa sholat dhuhur. Bangun. Momong adek bayi. Mandi. Sholat ashar. Maem. Nonton tipi. Maghrib. Otak atik di depan gatged sambil smsan, sesekali buka kumpulan soal SPMB, corat coret. Ketiduran.
…..


Itu sejimpit cerita sehari hari, di saat liburan sekolah. Penuh dengan kemalasan. Ga’ ada semangat untuk menatap hari yang cerah. Entah, cerita seperti itu banyak dijumpai dikalangan remaja saat ini. Rasanya, untuk mengerjakan sesuatu yang serius dan bermanfaat itu berat. Bahkan untuk belajar. Apalagi banyak godaan di sana sini. Hari-hari dilalui dengan sia-sia. Seakan sama sekali ga’ ada motivasi untuk menjadi AKU yang lebih baik dari hari kemarin.

Bicara mengenai motivasi, akan kita ulas sekelumit mengenai motivasi yang menghantarkan kita ke pintu gerbang kesuksesan. Semoga.

Aku menulis ini bukan karena ingin menggurui teman-teman, tapi mari kita belajar bersama-sama untuk meningkatkan motivasi kita. Karena akhir-akhir ini aku sering diserang penyakit “malas”. Rasanya setumpuk beban memberati punggungku (lebai . mode:on). Padahal di depan san amasih banyak hal-hal yang perlu dirapikan. Salah satunya, belajar. Selesai ujian bukan berarti melupakan pelajaran. Malahan aku masih punya tugas mencari bangku kuliah. Ya. Dengan menbaca artikel-artikel tentang motivasi belajar dan menulis sekelumit ulasan tentang itu, aku berharap ini bisa menjadi media pembelajaranku yang baru. Menstimulus otakku untuk mengingat, bahkan (kalau bisa) melakukan apa yang pernah aku baca dan aku tulis (jadi aku menyuruh diriku sendiri untuk “ga’sekedar ngomong”) untuk proses kedewasaanku (maklum, aku masih kekanak-kanakkan banged).
Semoga. Amin.

Kenapa harus ada motivasi belajar?????
(to be continued)

Minggu, 21 Juni 2009

Tiga spot untuk permulaan

Sempurna. Kata itu mampu membuatku mengernyitkan dahi. Adakah manusia sempurna di muka bumi ini?

Seakan mereka menjawab, "Tidak. Itu tidak ada.". Ya, itu jawaban formalitas. Dalam setiap realita, kita dituntut untuk sempurna. Dimata mereka, tak ada tersisa bayangan ketidaksempurnaan. Yang mereka pandang, yang mereka perhatikan, yang mereka elu-elu kan, yang mereka tinggikan, yang mereka sayang, yang mereka cinta, yang mereka puja, itu yang sempurna, menurut mereka. Adakah sisa tempat dihatinya? barang secuil, untuk menampung sosok yang jauh dari sempurna, menurut mereka. Aku tak mengerti. Sama sekali aku tak tau. Bahkan, alasan mengapa aku menulis ini pun aku tak tau.

Aku bukan lah sosok yang sempurna. Entah luar, entah dalam. Kesan pertama mereka melihatku, tak pernah ada perhatian khusus. Aku hanya sosok kecil yang mungkin mereka anggap sama sekali tak memiliki medan magnet untuk menarik simpati mereka. Tak pernah dianggap. Masa bodoh lah mereka dengan setiap gerak-gerikku. Tak ada yang mempedulikan. Hingga seolah mereka mencap aku sosok kuper yang caper. Pertanyaanku, apa aku salah jika aku inginkan teman?

Kadang aku bertanya, mengapa mereka memperlakukan aku seperti itu. Mereka bertingkah seolah mereka hanya membuat mainan konyol. Mereka datang jika mereka butuh pelampiasan lelah, saat mereka menginginkan obyek untuk penumpahan emosi labil mereka. Lain, disaat aku butuh mereka, entah kearah mana wajah-wajah itu berpaling, tak kutemui. Mereka menghilang, seakan jarum-jarum yang terselip dalam tumpukan jerami.

Oke. Bahasan ini mengenai hitam dan putih, utara dan selatan, timur dan barat, atas dan bawah, kiri dan kanan, depan dan belakang, atau apalah opposites lainnya. Dan, mungkin aku menduduki posisi lawan dari kata baik. Dan, blak-blakkan aku nyatakan, ini menyangkut masa remaja-ku. Masa remaja yang penuh dengan kebimbangan.

Tak mungkin aku menyalahkan penciptaku, tak mungkin aku menyalahkan orang tuaku, tak mungkin aku menyalahkan keluargaku, tak mungkin aku menyalahkan para tetanggaku, tak mungkin aku menyalahkan sahabat-sahabatku, tak mungkin aku menyalahkan teman-temanku, tak mungkin aku menyalahkan guruku. Dan siapa yang harus aku salahkan? Haruskah aku menyalahkan diriku sendiri?? Harusnya aku tau jawabannya, tapi aku tak tau bagaimana harus menjawabnya.

Kejujuranku. Kadang aku merasa iri. Dengan mereka-mereka yang memiliki sosok sempurna. Jujur. Aku sering berkhayal andai aku di posisi mereka. Mereka yang selalu mendapat perhatian simpati bahkan empati dari orang-orang sekelilingnya. Yang kadang melukiskan seolah mereka mendapat tempat terindah dalam hati. Tak ku pungkiri bahwa itu lah realita. Realita bukan teori. Aku tak pernah menyalahkan mereka "sosok sempurna" itu yang telah merebut semua perhatian mata indah itu. Itu memang sebuah fakta yang nyata, tanpa perlu pembuktian dengan rumus-rumus trigonometri maupun relativitas. Dan aku terlalu lelah telah membuat cerita khayalan konyol yang imajinasif, tentang perjalanan hidup. Itu hanyalah kalimat-kalimat yang kurangkai dengan rapi, menghasilkan wacana, semacam bualan-bualan yang kujejalkan ku mulutku sendiri. Seolah itu obat untuk menyembuhkan rasa sakit ini. Obat. Dengan obat itu aku bisa bertahan sejenak, tertawa, ceria. Semua tertutup dengan rapih. Hingga akhirnya rasa sakit itu semakin menjadi-jadi. Sedang imajinasi ini tak kuasa lagi memunguti butiran kata yang tercecer dan meraciknya menjadi obat itu. Lelah. Obat itu hanya khayalan. Khayalan . Yang mungkin tak kan ada realisasinya.

Satu yang kujadikan wacana saat ini. May, kamu tu harus sadar! Kamu harus mengakui dan menerima semuanya!! Buka matamu! Enyahkan imajinasimu itu!! Hadapi dunia ini, tataplah kenyataan! Terima semua ini apa adanya!! Just the way it is!!!!

Sulit. Aku percaya, bahkan aku merasakan. Sulit untuk menjejalkan itu ke mulutku, sebagai pengganti obat itu. Bahkan langkah kerja itu tercecer takberaturan. Langkah kerja dokter yang membuat dirinya sendiri sebagai obyek percobaan riset obat. Obat. Lebih tepatnya : RACUN. Untuk meracuni bagian-bagian tubuhku yang sering merasa sakit. Oke, bagian itu adalah hati. Dan. Ini. Mungkin. Penyakit. Hati. Mungkin aku kurang dekat dengan dengan Allah.

Oke. Semua wacana ini berawal dari rasa sakitku atas berpalingnya diya. Diya. Panggil diya dengan sebutan "X". Dan mungkin semua hanyalah salah paham yang ga’ pernah dipahami. “X” adalah sosok, dimataku, dimata teman-teman, biyasa saja, diya tak sempurna, tapi diya sederhana, diya ga’ kaya’ yang lain yang suka ngumbar janji. Kesederhanaan yang diya tunjukkan itu yang menjadikan poin tersendiri atas dirinya. SMP. Tiga tahun aku belajar dalam satu ruang dengannya. Setahun yang terakhir aku baru menyadari bahwa ada yang lain dengan tingkahnya, juga perasaannku. Dan di tahun itu juga diya ungkapkan sebuah kata yang membuatku semakin teguh dengan pendirianku selama ini. Pendirian akan prinsipku, bahwa kemolekan fisik atau "kesempurnaan" itu bukan poin pertama yang dinilai. Itu prinsipku sejak aku duduk di bangku SD. Ibuku yang mengajariku. Awalnya aku hampir goyah dengan prinsip itu, tapi diya datang untuk meneguhkan kembali. Setelah diya teguhkan hati ini (meski tak pernah ada status yang jelas di antara kita), kita berpisah sekolah. Seiring berjalannya waktu, hubungan ini semakin buram, komunikasi tersendat, dan akhirnya komunikasi kami putus tepat kurang lebih satu setengah tahun pesta perpisahan itu. Walau selama itu aku simpan hasratku untuk mengucap kata 'miss u' dan aku tutup hatiku untuk orang lain, namun mungkin itu semua tak cukup membuatnya nyaman. Mungkin diya bosan, seperti kebosananku menunggu kedatangannya, sekedar meluangkan waktu untuk speak up, bosan dengan kediamannya. Diya bilang diya telah melupakan semua tentang aku dan diya, (cerita yang nggantung, nggak pernah jelas siapa yang menggantung dan siapa yang digantung.). Diya juga bilang bahwa diya telah menemukan sosok penggantiku. Itu kalimat terakhir darinya. Semenjak itu, diya tak pernah lagi kontak aku, tak pernah mengangkat telpon atau membalas smsku. Oke. Singkatnya, berdasarkan penelitian, aku menarik hipotesa bahwa sosok pengganti itu mungkin adalah sosok sempurna. Menurut mereka. Mungkin. Kembang Desa. Banyak yang menaruh simpati bahkan empati padanya. Oke. Aku tak akan menanyakan alasan mengapa begitu. Karena aku sudah tahu jawaban itu dan aku juga tahu gimana menjawabnya. Oke, aku terima. Jelas.

Itu cerita spot permulaan. Sejak itu, aku kesulitan untuk meneguhkan prinsipku kembali. Hanya aku seorang diri. Dengan kebimbangan yang luar biasa. Antara prinsip (teori) dengan realita yang ada di depan mata. Spot selanjutnya adalah "Y" sepupuku. Yang dulu melewati masa kecil bersamaku, yang mereka bilang kita anak kembar. Sekarang tumbuh menjadi sosok indah, sempurna, menurut mereka. Tak hanya itu, bahkan sosok yang dulu selau berbagi tawa bersamaku itu kini berubah menjadi sosok yang super tertutup denganku. Bahkan hampir tak ada sapaan ketika aku berkunjung ke rumahnya. Jika boleh saya berburuk sangka, apakah diya malu atau jijik bermain bersama sosok yang dulu orang-orang bilang kita kembar tapi sekarang seperti ini keadaannya? Atau kah diya sombong atas kemolekan yang menjadi sumber pujian banyak orang, sedang tubuhku yang menjadi omongan banyak orang? Tapi sayang, tak sepantasnya aku berpikiran sepicik itu. Oke. Jelas.

Lupakan spot itu.
Ada yang lain. Saudara ku, tepatnya anak mertua dari anak pakdheku, sebut saja "I". Ya. Dulu memang kami ga' begitu deket. Hanya saling kenal saja, kebetulan diya sekelurahan denganku. Sejak Ramadhan 2008 lalu, kami sering bertemu, sekedar ikut rapat, pertemuan karangtaruna, atau hanya ketemu di warung (diya anak pemilik warung tak jauh dari rumahku ). Sms-an. Hampir setiap hari. Sekedar ngingetin maem, solat, etc... Beberapa minggu. Bahasa sms nya smakin menjadi-jadi. Kata-kata "sayang" lepas begitu saja. Ada tanda tanya besar di jidat ini. Entah siapa yang bisa menjawabnya. Kuakui, diya tujuh taun lebih tua dariku. Diya lebih dewasa dariku. Tak mau ber suuzhan lagi. Aku percayai diya. Tempatku curhat. Apapun itu. Mulai dari ulangan harianku, sampai rahasiaku (saat itu) tentang sakit skoliosis yang mendera tubuhku. Ya. Awalnya diya bisa "momong" aku. Aku merasa nyaman. Lega, bisa menumpahkan apa yang kupendam. Aku juga kembali bangkit dari keruntuhan prinsipku itu. Aku senang orang lain mau menerimaku apa adanya. Just the way I am. Namun, tak lampau lama. Beberapa waktu lalu diya mulai berubah. Smua canda tawa darinya (yang mungkin tujuannya buat ngehibur aku), diya mungkin tak sadar kalau apa yang diya jadikan bahan candaan itu telah membuat aku tersayat, segala poin hitamku keluar begitu saja sebagai suatu canda. Awalnya sih aku bisa terima candaan itu. Tapi lama-kelamaan semua itu membuatku bosan dan sedikit enggan dengannya. Diya kuuanggap kakakku. Aku berharap diya bisa "momong" aku lagi kaya' dulu. Tapi sekarang? Aku ga' tau ah....

Aku butuh waktu, barang sejenak, untuk aku mengerti hidupku. Untuk aku menata hati. Bukan untuk mendapat seonggok daging yang duduk di sampingku. Tapi untuk mendapat sejimpit hikmah dan titik terang, menemaiku menuju aku yang lebih dewasa di hari esok. Semoga.

Tiga spot mungkin mewakili berpuluh-puluh spot hidupku yang lain. Biarkan. Aku menempuh hidupku, bukan hidumu.

Dalam sholatku, aku terlalu cengeng. Aku sering curhat ma Allah (padahal Allah lebih tau tentang aku dari pada aku). Aku pengen terus-terussan curhat ma ortuku, tapi itu hanya menambah beban mereka, hanya sesekali aku curhat, yang sekiranya tidak begitu memberati mereka. Aku pengen ada seseorang yang mau terus-terussan mendengar ceritaku, tapi aku ga' tau siapa, ketika aku mencoba curhat dengan teman-temanku, dari mimik mereka aku tau di benak mereka ada kalimat "caper deh". Suuzhan lagi tu. Ya. Aku juga merasa belum mampu berperan sebagai "pendengar setia" bagi orang-orang disekitarku, aku pun ga' boleh merindukan mereka untuk mampu menjadi "pendengar setia" ku.

Ya. Seusai kurampungkan ujian akhir. Aku mencoba berkenalan dengan dunia internet. Aku buat email. Aku buat blog. Sekedar sebagai tempat "jor-jor"an uneg-uneg hati. Entah siapa pun yang baca. Entah apa pun komentar mereka. Aku hanya ingin sedikit meluapkan isi hati. Setidaknya aku lega, tidak aku pendam sendiri.

Buat temen-temen yang kebetulan kenal aku, maafin aku ya..........

Kamis, 18 Juni 2009

Aku inget!

Waktu aku ngeberesin tumpukan buku di kamarku (udah slese ujian nih….) aku liat gambar astronot di buku bahasa inggrisku. Aku tiba-tiba aja inget, beberapa bulan yang lalu ada salah satu temenku yang bertanya macem-macem tentang satelit, vostok, NASA, etc…..
Buwat diya yang ngrasa pernah tanya gitu ke aku, silahkan baca……

SPUTNIK
Sputnik is the name of the first of several artificial satellites launched by the Soviet Union from 1957 to 1961. The goals of the Sputnik program included studying the earth’s upper atmosphere, observing animal survival in space flight, and testing Soviet rocket technology. The launch of the unmanned Sputnik 1 and Sputnik 2, which carried a dog, spurred the United States to incest more money and recources into its young space programme, initialing a race between the two nations to land a person on moon.
The Sputnik program began on October 4, 1957, with the launch of Sputnik 1, which weighed 83 kg. The official name of the satellite was Iskusvennyi Sputnik Zemli (fellow world traveler of earth). The launch vehicle was a test version of the Soviet intercontinental ballistic missile. Sputnik 2 was launch on November 3, 1957, and weighed 508 kg. It carried a female dog named Laika. On board instruments showed that Laika survived in space for several days until her oxygen supply was exhausted.
After failing in its first attempt, the United States launched its own satellite, Explorer 1, on January 31, 1958. The satellite weighed only 14 kg, including its rocket motor. The Soviet responded by launching Sputnik 3, which weighed 1.3 metric tons, on May 15, 1958.
The first three Sputnik satellites each instrument to measure the temperature and the density of the earth’s upper atmosphere, the electron density of the ionosphere, and the size and number of micrometeorites (tiny partikel in space). In addition, Sputnik 3 carried the first space laboratory, a set of inctrument that could transmit information about the environment outside the satellite. Solar energy was used for the first time by Sputnik 3 to power its instruments and transmitters.
From 1958 to 1959 the Soviet Union interrupted the Sputnik program to concentrate on the Luna series of vehicles that were sent toward the moon. The sputnik program was resumed with Sputniks 5 through 10, which were launched from 1960 to 1961. Sputniks 5, 6, 7, 8, 9, and 10 all carried dogs, most of which reenterd the earth’s atmosphere safely and were recovered. These satellites each weighed several thousand kilograms and became the models of the vostok spacescraft, which would eventually carry the first human passenger, Yuri Alekseyevich Gagarin, into space in April 1961.
In addition, to initialing the space race between the United States and Soviet Union, the Sputnik series of spacecraft also had alarming military implications. The intercontinental ballistic missiles that were used to launch the Sputnik satellites were also capable of travelling from the Soviet Union to military targets in less than an hour-much less than the several hours required from conventional bommer aircraft. President Dwight D. Eisenhower of the United States reacted to the space race by signing the National Aeronautics and Space Act of 1958, which created the National Aeronautics and Space Administration (NASA). He also established the Advenced Reseach Project Agency (now the Defense Advanced Reseach Project Agency), a division of the U.S.Department of Defense.

Sepenggal naskah

.....
“Mengapa tak kau tancapkan saja belati itu? Padahal kulit telah mengelupas. Padahal daging telah tersayat. Padahal darah telah mengucur. Mengapa tak kau tancapkan saja belati itu?!!! Agar tak ada kisah yang lebih panjang tentang derita itu. Agar tak ada air tangis di pelupuk. Agar tak ada mata sayu yang kian redup. Agar tak ada otot pipi yang romusha untuk tersimpul. Mengapa tak kau tancapkan saja belati itu?!!!”

“Ma’af, bukan tanpa sebab kugantungkan belati itu disana. Sebab bimbang tangan ini menggenggam belati itu erat. Sebab berat lengan ini menyangga belati itu. Sebab masih ada hasrat dalam kuku-kuku ini untuk membiarkanmu lebih indah. Ma’af, bukan tanpa sebab kugantungkan belati itu disana. Sebab aku tak ingin kau melihatnya lagi. Sebab aku tak ingin kau menyentuhnya lagi. Sebab aku tak ingin kau menggenggamnya lagi. Ma’af, bukan tanpa sebab kugantungkan belati itu disana.”

“Bedebah! Dimana kau simpan kornea matamu???! Tiadakah terlihat olemu darah ini? Tiadakah terlihat olehmu luka ini? Tiadakah terlihat olehmu air tangis ini? Dimana kau simpan kornea matamu???!”

“Bukan tiada tempat kuletak korneaku, tempat itu disana. Agar tak menjumlah darahmu. Agar tak menjumlah lukamu. Agar tak menjumlah semua itu. Bukan tiada tempat kuletak korneaku.”

“Hanya itukah yang masih terselip di tumpukkan otakmu yang koclok? Dimana kau lempar file-file mu yang dulu? Dimana recycle bin kah itu? Dimana semua itu? Hanya itukah yang masih terselip di tumpukkan otakmu yang koclok???!!”

“Tiada pernah kulempar folder yang berisikan file-file itu. Hanya kusimpan dalam my document. Hanya sesekali kujalankan scan dari virus. Tiada pernah kulempar folder yang berisikan file-file itu.”

“Lantas! Mengapa tak kau pikirkan tentang itu?!! Tentang proposal yang kau ajukan dulu. Tentang artikel yang kau tuliskan dulu. Tentang curriculum vitae yang kau runut agar aku percaya. Tentang planning pertama yang terkatakan dulu. Lantas! Mengapa tak kau pikirkan tentang itu?!!”

“Sepurane. Ada suatu hal yang jadikan pondasi itu tergoyah. Adalah aku yang memunyai pandangan yang berbeda. Adalah satu tanya yang tak kunjung ku temui rumus untuk menyelesikannya. Bukan pithagoras, bukan logaritma, ataupun trigonometri. Sepurane”

“Adakah saka guru atas ucapanmu itu? Karena ketidaksempurnaanku kah, yang semakin banyak kau temui seiring penulisan artikel itu? Karena fisikku kah, yang setiap mereka pasti enggan menatap? Adakah saka guru atas ucapanmu itu?”

“Tidak. Bukan itu. Justru karena kesempurnaanmu. Tak berhak aku untuk membuat ukiran-ukiran lekuk itu padamu. Karena menurutku kau sempurna tanpa aku. Aku hanya menjadi gulma bagimu. Yang merusakmu. Lantas tak kulanjutkan pekerjaan itu, yang hanya membuat noda dalam dirimu. Lantas kubiarkan luka itu mongering. Justru karena kesempurnaanmu.”

“Itu kah rentetan kata yang kau kurung selama ribuan hari? Yang kau kurung di bawah lidahmu. Tak pernah kau biarkan dia menghirup oksigen bebas. Itukah rentetan kata yang kau kurung selama ribuan hari? Tak sepenuhnya kupercayai itu. Bahkan mereka bilang kau pengecut!!!
.....

kata jamand semut

kata jamand semut.

Dua jam aku berdiri,
bukan tuk melatih betisku,
Dua jam aku berdiri,
bukan tuk mengikuti aba-aba pemimpin upacara,
Dua jam aku berdiri,
bukan tuk mendengarkan ocehan DPT,
Dua jam aku berdiri,
bukan tuk mengganti PR yang tertinggal.

Jarum jam, bagiku bukan,
itu kalender.
Unik memang.
Perhitungan yang memusingkan,
layaknya pemusing pembuat arum manis.
Maaf, Pak Guru, Bu Guru.
Bukan waktu ulangan,kan?
Sungging.

Enam puluh,
nomor punggung si menik.
Tak hanya itu.
Dua belas,
ukuran sandal si wulan.
Tiga enam nol nol,
empat digit nomor telpon dektika.
Satu,
angka yang dibuat oleh si jamil yang sok tau.
Bagiku mereka semua adalah sama.
Sama.
Bagiku.

Semut kecil yang merambatiku
terkadang membuatku gelisah.
Hentakkan kakiku!
Serasa inginku berlari,
mendengar bisikan semut-semut.
Biarkan mereka!
Sesekali ku tancapkan kata itu di nadiku.
Sesekali pula kuusir kata itu dari sana.
Entahlah.

Jam di tangan berteriak-teriak,
"Hai!"
Hanya kulirik. Cuek.
Ternyata dia bersekongkol dengan semut-semut itu.
"Hai manusia! Tidakkah kau dengar?"
Akukah yang kau maksud?
"Lantas siapa lagi?"
Hm.
"Apakah kau suka dengan seorang pencuri?"
Tidak.
"Apa yang akan kau lakukan jika kau melihatnya mencuri?"
Apa yang dia curi?
"Sebagian darimu! Apa yang akan kau lakukan?"
Memukulinya.
"Hanya itu?"
Tidak. Membunuhnya. Mungkin.
"Lantas! Mengapa sampai kini kau belum lakukan itu?"
???

Otakku memang tak seencer milikmu.
Tapi aku telah menemukannya.
Pencuri itu.
Dia bukan kau.
bukan "something" yang membuatku berdiri selama dua jam.
Bukan itu.
Dia,
adalah aku.

Aku adalah pencuri.
Pencuri terbesar di dunia ini.
Pencuri tanpa belas kasihan.
Tanpa perikemanusiaan.
Apa yang aku curi???
Ruang, waktu, kesempatan, kesehatan, , tempat, dll.....
Bagaimana bisa?
Aku telah menyia-nyiakan semua itu.
Semua yang tak kan pernah dapat kembali lagi.
Kubiarkan diriku melewatkan semuanya,
sementara aku hanya berdiri.
Berdiri selama dua jam,
Dua jam yang dalam rumusku adalah dua tahun.
Ya,
2 = 2

Jadi,
aku harus membunuhku.
Dengan mata pisau yang tajam,
kugores dalam dalam nadiku,
memasukkan new vocab,
Lanjutkan hidup!!

"Manusia memang aneh"
kata jamand semut

Kamis, 04 Juni 2009

Laporan Percobaan membuat Blog

Laporan Percobaan membuat blog

Tujuan : Mengetahui bagaimana cara membuat blog.
Rumusan Masalah : Bagaimana cara membuat blog?
Dasar teori : wandi@airputih.or.id
http://samuderacinta.blogspot.com
http://www.airputih.tk
Alat dan bahan : Computer (LENGKAP. satu set atau lebih)
Sakerepmu
Langkah kerja : (Baca di dasar teor)i
Hasil Percobaan : (yang sedang Anda baca)
Pembahasan : (ga' usah dibahas)
Kesimpulan : masih tergolong awm nihhh...... ajarin dong